Beberapa kegiatan Pilot Project P2KP-3 Papua di bulan Juni

Saturday, September 16, 2006

P2KP-3 Pilot Project di Bulan Juni


Kegiatan persiapan Pilot Project periode Mei-Juni 2006 meliputi: (1) Pengadaan Kantor dan sarana pendukungnya (2) Rekruitment Fasilitator Lokal (3) Koordinasi dengan stakeholder P2KP tingkat kota, dan (4) Pelatihan Dasar untuk Tim Fasilitator Kelurahan lokal. Sedangkan kegiatan Tim Fasilitator setelah mengikuti Pelatihan Dasar meliputi: (1) Silaturahmi/sosialisasi informal/loby-loby kepada lurah, tokoh masyarakat (key person) setempat (2) Sosial Mapping (3) Sosialisasi tingkat Kelurahan (4) Sosialisasi tingkat basis atau komunitas terkecil (RT). Secara umum, implementasi kegiatan tingkat kota maupun tingkat kelurahan berjalan dengan baik. Respon dari stakeholder tingkat kota, kecamatan maupun kelurahan sangat positif. Demikian juga dengan respon masyarakat.
Kota Jayapura
Kota Jayapura ibukota Provinsi Papua (940 Km2) jumlah penduduknya 210.679 Jiwa terdiri dari 112.300 laki-laki dan 98.379 perempuan. Secara administrasi terbagi atas 4 distrik (kecamatan), yaitu: Distrik Abepura (201,3 Km2), Distrik Jayapura Selatan (61 Km2), Distrik Jayapura Utara (51 Km2), dan Distrik Muara Tami (626,7 Km2) meliputi 18 kelurahan dan 13 desa. Wilayah Timur Kota Jayapura berbatasan langsung dengan Papua New Guinea; sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jayapura, sebelah Utara Kota Jayapura dengan Samudera Pasifik.

Jumlah penduduk yang memeluk Kristen Protestan sebanyak 94.490 (41,51 %), Islam sebanyak 87.540 (38,45%), Kristen Katholik sebanyak 41.312 (18,15 %), Hindu sebanyak 2.489 (1,09 %) dan Budha sebanyak 1.816 (0,79 %) .
Secara morfologi, Kota Jayapura terdiri dari daratan yang landai, lembah dan perbukitan/gunung yang dikelilingi oleh lautan. Pusat-pusat pertokoan modern di pusat kota berdampingan dengan pasar-pasar tradisional, seperti pasar Hamadi. Penduduk asli Papua asal Wamena menjual hasil taninya di tempat yang terbuka di pusat kota. Sebagian bukit tampak sudah mulai gundul untuk pertanian, banyak saluran drainase tidak berfungsi secara baik sehingga banjir manakala hujan.
Masyarakat asli yang umumnya berkulit hitam dan berambut keriting terdiri dari puluhan suku besar dan kecil. Suku-suku asli yang memiliki populasi besar antara lain berasal dari Wamena, Serui, Biak, Paniai, serta suku asli yaitu Ormu , Kayu Batu dan Kayu Pulo, mereka hidup berdampingan dengan pendatang dengan budaya dan kebiasaan sendiri-sendiri.
Pimpinan adat, yang dinamakan ondoafi diantara suku-suku asli memegang peran penting khususnya terkait dengan hak ulayat atas tanah adat, pengadaan mas kawin (belis), dan sistem sosial/kekerabatan.
Kehidupan bergotong royong, bekerjasama dan saling membantu diantara orang sesuku, atau satu fam menjadi salah satu ciri khas masyarakat Papua. Minum minuman keras beralkohol dengan kadar tinggi yang dikenal dengan milo (minuman lokal) merupakan salah satu kebiasaan sehari – hari, khususnya di kalangan laki-laki. Selain penduduk asli, pendatang dari luar daerah terdiri dari bermacam-macam etnis antara lain jawa, batak, sunda, cina, madura, buton, makassar dan lain-lain.
Penduduk asli Papua yang berdomisili di Kota Jayapura terdiri dari suku asli sedangkan suku asli Papua yaitu serui, biak, paniai, dan pegunungan tengah (Wamena ). Daerah perbukitan/gunung sebagian besar dihuni oleh “Wamena dan Paniai”, pesisir dihuni oleh orang-orang asal biak, serui, bugis, dan buton.
Sedangkan warga masyarakat pendatang lainnya seperti dari jawa, batak, sunda, cina, makassar dan lain-lain biasanya membaur dan menempati wilayah yang landai sampai bergelombang.
Kondisi 4 Kelurahan
1. KELURAHAN TANJUNGRIA
Kelurahan Tanjungria merupakan salah satu kelurahan dari 7 kelurahan yang berada dalam wilayah Distrik Jayapura Utara Kotamadya Jayapura, dengan luas wilayah 6,4 Km2. dan ketingian rata-rata berada pada 500 M di atas permukaan laut.
Secara garis besar keadaan topografi dan kemiringan lahan di Kelurahan Tanjung Ria dapat diklasifikasikan menjadi tiga satuan morfologi yaitu : (a) Daratan, dari Timur Laut (Tepi Laut Pasifik) ke Barat Daya dengan ketinggian ± 8 m dpl, dengan kemiringan medan antara 3% - 5%. Di wilayah ini sering terjadi banjir jika musim penghujan dan air laut pasang; (b) Bergelombang, mempunyai kemiringan 5% - 70% dan ketinggian antara 20 – 50 meter di atas permukaan laut; dan Relief Perbukitan Sedang, kemiringan lereng antara 10% - 30% dengan ketingian antara 0 -250 meter dari permukaan laut.
Penduduk Kelurahan Tanjung Ria sebanyak 11.041 Jiwa yang terbagi menjadi 3.044 KK, laki-laki : 6.036 Jiwa, perempuan: 5.006 Jiwa tersebar di 7 Rukun Warga (RW) dan 37 Rukun Tetangga. Penduduk asli yaitu suku Ormu dan Kayu Batu sedangkan suku ”asli pendatang”, yaitu Serui, Biak, Paniai, dan Pegunungan Tengah (Wamena). Penduduk pendatang dari luar Papua antara lain etnis Jawa, Batak, Sunda, Cina, Buton, Makassar dan lain-lain.
Di Kelurahan Tanjung Ria masih terdapat perkampungan adat yaitu Kampung Adat Kayu Batu dengan pimpinan tertinggi pada Dewan Adat yang dipilih berdasarkan Musyawarah Adat. Ketua Dewan Adat Kayu Batu saat ini adalah Isack Makanuay. Sedangkan Suku-suku yang berada dalam Dewan Adat dipimpin oleh Kepala Suku yang disebut Ondoafi. Ondoafi merupakan jabatan turun temurun dan diangkat berdasarkan garis keturunan patrilineal (laki-laki). Adapun suku-suku yang terdapat pada Keondoafian Kayu Batu adalah Suku Puy dan Suku Makanuay. Ondoafi Suku Makanuay adalah Rudolof Makanuay. Secara umum masyarakat adat Kayu Batu masih memelihara adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari, namun adat istiadat tersebut hanya diberlakukan bagi warga masyarakat yang termasuk dalam suku-suku yang terdapat pada Keondoafian Kayu Batu tersebut.
Saat ini yang menjadi harapan warga masyarakat Adat Kampung Kayu Batu adalah pemekaran kampung Kayu Batu menjadi kampung yang bebas untuk menyelenggarakan proses pemerintahan sendiri (Otonomi Kampung) terlepas dari Kelurahan Tanjung Ria. Hal ini dimaksudkan agar tradisi budaya / adat yang dimiliki masyarakat Kampung Kayu Batu dapat terus dipertahankan dan dilestarikan melalui suatu pemerintahan kampung.
Permukiman penduduk di Tanjung Ria umumnya berkelompok menurut suku masing-masing sehingga membentuk suatu komunitas tersendiri. Bahkan ada keinginan suku asli papua ”Wamena” membentuk RT tersendiri. Ciri khas suku ini adalah pola hidup yang selalu berpindah-pindah dari satu tempat satu ke tempat lainnya. Biasanya mereka membuka lahan di suatu tempat, kemudian mengajak sanak saudaranya dan akhirnya bermukim di tempat tersebut dalam satu komunitas.
Dilihat dari tingkat pendidikannya, hampir 50% sudah tamat SMU. Dari jumlah tersebut, tamatan perguruan tinggi (akademi dan universitas/sarjana) ada 1.546 orang (13,9%).
Jika penerima kartu Askeskin dapat memberikan gambaran jumlah warga miskin, penerima kartu Askes Miskin di Kelurahan Tanjung Ria seluruhnya berjumlah 2.761 Jiwa. Namun, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan catatan akan jumlah Penduduk Pra Sejahtera yang mencapai 3.011 jiwa (27,27%) atau 752 KK. Penduduk Pra Sejahtera ini umumnya adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan dan mata pencaharian tetap.
Ketersediaan air bersih merupakan masalah utama yang sering dihadapi oleh warga. Sebagian besar warga terutama di daerah pesisir pantai memperoleh air bersih dari mata air dan menampungan air hujan. Sumber air bersih ini bila musim kemarau volume airnya akan berkurang. Sebagian besar warga, khususnya penduduk asli mempunyai kebiasaan meminum minuman keras.
Mata pencaharian utama penduduk adalah berkebun dan nelayan, sesuai dengan kondisi lingkungan alamnya yang terdiri atas daratan dan pantai/lautan. Tanaman yang dibudidayakan beraneka ragam seperti ubi kayu, sayuran, dan aneka hortikultura lainnya. Warga yang tinggal di pinggir pantai menangkap ikan dan membuat keramba untuk budidaya sumber daya laut (Ikan, Udang, Lobster, Kepiting, dll).
1.2. Respon Terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan
Sebelum ini warga sudah menerima beberapa program penanggulangan kemiskinan diantaranya BLT (bantuan Langsung Tunai), Askeskin (Arusansi Kesehatan Miskin), Raskin (Beras untuk Orang Miskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dll. Menurut keterangan warga program-program tersebut sering salah sasaran, dan tumpang tindih. Keberadaan program-program tersebut membangun image bahwa program atau bantuan bersifat instan atau langsung cair.
2. KELURAHAN IMBI
Kelurahan Imbi (9,37 Km2) secara administratif meliputi 9 RW dan 35 RT. Wilayahnya terdiri pantai, perbukitan dan lembah. Di daerah perbukitan, sarana jalan lingkungannya kebanyakan menanjak hampir vertikal. Sebagian sudah beraspal dan dapat dilewati oleh roda dua maupun mobil, sementara beberapa ruas jalan masih berupa jalan berbatu yang hanya bisa dilalui oleh roda dua. Jumlah penduduknya (2003) ada 12.262 jiwa terbagi atas 6.190 laki-laki dan 6.072 perempuan. yang tergolong Keluarga Pra Sejahtera-1 sebanyak 1.371 Kepala Keluarga.
Ditinjau dari asalnya, penduduk Kelurahan Imbi berasal dari bermacam-macam daerah, baik di Papua maupun luar Papua, seperti Wamena, Biak, Serui, Jayapura, Makassar, dan Sumatera Utara. Pola permukiman sebagian besar berkelompok menurut asal dan suku masing-masing sehingga membentuk komunitas sendiri, seperti suku Serui Ansus dominan di RW VII, Serui Ambai di RW III dan orang-orang asal Wamena di RW IX RT 04, 05, 06 dan 07 di daerah perbukitan.
Penduduk kelurahan Imbi paling banyak beragama Kristen Protestan yaitu sebanyak 5.160 jiwa, Islam 3.878 jiwa, Katolik 174 Jiwa dan Budha 12 Jiwa. tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Imbi sebagian besar tamat SLTA yaitu sebanyak 1392 jiwa, sedangkan yang tamatan Akademi dan sarjana sejumlah 496, sisanya tamatan SMP ke bawah.
Air bersih merupakan masalah utama yang sering dihadapi oleh warga Kelurahan Imbi karena sebagian besar warga terutama di daerah pesisir pantai memperoleh air bersih dari mata air dan menampungan air hujan, yang bila musim kemarau volume airnya akan berkurang. Permasalahan ini telah menarik perhatian suatu LSM, yaitu Word Vision Indonesia. Lembaga ini membangun penampungan air dan kamar mandi umum di RW VII. Akan tetapi sampai saat ini permasalahan tersebut belum sepenuhnya teratasi karena hampir disemua wilayah Kelurahan Imbi mengalami kesulitan sumber air bersih.
3. KELURAHAN BHAYANGKARA
Kelurahan Bhayangkara secara administratif terdiri dari 7 Rukun Warga (RW) dan 38 Rukun Tetangga (RT), dengan luas wilayah ± 13,57 Km. Sebagian besar topografi Kelurahan Bhayangkara berupa lembah dan gunung, dan sebagian kecil pantai. Daerah lembah melewati jalan provinsi menuju kantor Gubernur dan merupakan daerah perkantoran serta pertokoan (Ruko). Penduduk Kelurahan terdiri dari 5.095 KK (Kepala Keluarga) dengan total penduduk 11.803 jiwa 6.601 laki-laki dan 5.202 perempuan. Persebaran warga miskin (prasejahtera) hampir merata di tiap RW dan RT. Jumlah penduduk tetap tiap RT yang sulit didata karena banyak penduduk tidak tetap/berpindah-pindah dari rumah kos-kosan satu ke yang lain.
Dinas PU Kota, Kejaksaan, Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura, BPID, Dinas Pendapatan Daerah, Trantib, Polda Papua, Bekang Dam XVII, Bank BNI, Dinas-Dinas Otonom Kota, RSUD, GOR Cenderawasih, semuanya berada di Kelurahan ini. Selain itu, sejumlah sarana umum seperti : Sekolah Dasar (SD), SLTP, gereja, masjid, lapangan tenis, beberapa hotel juga ada di sana.
Komunitas warga umumnya berdasarkan asal usul dan etnisnya. Masyarakat asal Tanah Merah Kabupaten Boven Digoel tinggal di RW.1/RT.05 Kampung Baru, masyarakat asal Kabupaten Sarmi, Serui tinggal di RW.2/RT.01,05 APO Kali Mati I dan APO Asuransi/Komp. Misi, masyarakat asal Biak, tinggal di RW.3/RT.04 APO Gudang, masyarakat asal Kabupaten Paniai, dan Buton tingal di RW.5/RT.01, 04 Komp. UD 45 dan APO Pantai Bakau, masyarakat asal Kabupaten Wamena di RW.7/RT.06, 07Kompleks Pemancar dan sebagian masyarakat asal Kabupaten Paniai tinggal Lembah Bahari.
Jumlah penduduk menurut agama adalah sebagai berikut : Islam (umumnya warga pendatang dari Jawa dan Sulawesi) sebanyak 5.818 jiwa, Kristen Protestan 4.357 jiwa, Kristen Katholik 1.176 jiwa, Hindu 168 jiwa, Budha dengan jumlah 84 jiwa.
Permasalahan utama yang menjadi kebutuhan mendesak adalah air bersih. Bak penampungan air sebanyak 3 buah yang ada belum bisa dimanfaatkan karena keterbatasan dana untuk pemasangan pipa pendistribusian ke air ke rumah warga.
Masyarakat di Kelurahan Bhayangkara didominasi oleh pendatang suku Jawa dan Sulawesi dan sudah membaur dengan penduduk asli Papua. Dalam keseharaian mereka hidup berdampingan dan saling toleransi. Untuk pertemuan-pertemuan tingkat RT sampai kelurahan semua etnis dapat berkumpul dan bermusyawarah. Yang cenderung eksklusif adalah warga asal Wamena yang tinggal di lereng-lereng perbukitan.
Mata pencaharian warga beragam, seperti: pedagang eceran, buruh pelabuhan, penjaga toko, sopir, warung makanan, kios, ojek, PNS, TNI, Polri, swasta dll.
Lembaga-lembaga non formal berupa perkumpulan, paguyuban, kelompok-kelompok warga beberapa cukup terorganisir dan mempunyai struktur yang jelas dan dapat berjalan baik, seperti : Paguyuban Pati (Jawa), KKSS (Kelompok Keluarga Sulawesi Selatan), Pengajian Keluarga (Muslim), Ibadah Keluarga (Nasrani). Keberadaan kelompok ini diakui dan diterima masyarakat.

4. KELURAHAN GURABESI
Kelurahan Gurabesi dengan luas wilayah 7,18 Km2 berada tepat di jantung Kota Jayapura. Secara administrative terdiri dari 8 RW dan 33 RT. Wilayahnya terdiri pantai, perbukitan dan lembah. Jumlah penduduk Dewasa sebanyak 13.331 Jiwa dengan 3.097 KK. Jumlah Laki-laki 7.417 Jiwa dan Perempuan 5.914 Jiwa. Sebahagian besar warga Kelurahan Gurabesi yaitu sebanyak 1.798 (59,79%) bermata pencaharian tidak tetap, yaitu sebagai buruh, pekerja di bidang jasa maupun di sektor perkebunan.
Ditinjau dari suku bangsa penduduk Kelurahan Gurabesi terdiri dari bermacam-macam etnis antara lain Jawa Pati, Madura, Batak, Sunda, Cina, Buton, Makassar, Manado dan lain-lain. Penduduk asli Papua yang berdomisili di Kelurahan Gurabesi berasal Kabupaten Serui, Biak, Paniai, Sarmi, dan Wamena.
Jumlah Penduduk Pra Sejahtera di Kelurahan Gurabesi sebanyak 625 KK (20,18 %). Penduduk Pra Sejahtera tersebut tidak memiliki penghasilan dan mata pencaharian tetap, sebagian besar dari mereka adalah buruh-buruh kasar, tukang parkir, tukang sampah, dll. Mereka umumnya tinggal di permukiman yang padat, kumuh dengan sarana dan prasarana umum yang sangat terbatas.

Analisa Sosial
Hampir 100 % masyarakat adat Papua menganut garis keturunan patrilineal (laki-laki). Artinya, semua anak, baik laki-laki maupun perempuan wajib mengikuti adat istiadat dan memakai nama fam ayahnya. Orang-orang yang masih dalam lingkungan satu fam, atau satu nama belakang artinya mempunyai hubungan kekerabatan, saling bersaudara. Setiap suku umumnya terdiri atas sejumlah fam. Jumlah fam dalam satu suku bisa bervariasi, ada yang bisa dihitung dengan jari tetapi ada juga suku yang terdiri atas ratusan fam. Masing-masing fam ditandai dengan nama famnya sendiri-sendiri. Dalam komunitas adat, ”perasaan bersaudara” demikian ini sangat kuat, dan umumnya saling mengenal satu dengan yang lain. Perkawinan dalam satu fam dianggap sama seperti perkawinan antar saudara kandung sehingga dianggap tabu (incest) pada hampir semua suku.
Ada semacam struktur atau pelapisan sosial pada masing-masing suku. Fam tertentu dianggap mempunyai posisi atau kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan fam yang lain di lingkungan sukunya. Jabatan-jabatan adat, seperti kepala adat atau ondoafi juga diturunkan berdasarkan garis keturunan patrilineal. Sebagai contoh, ondoafi pada suku Kayu Batu saat ini berada pada fam Makanuay. Kepala adat adalah orang yang dipilih dengan aturan-aturan adat, berdasarkan garis keturunan laki-laki, diantara fam ondoafi untuk menjadi kepala diantara orang-orang sesuku. Merekalah yang menentukan kebijakan-kebijakan adat, dan menjaga adat istiadat suku.
Di antara masyarakat adat Papua, khususnya yang berada di kota Jayapura, Suku Kayu Batu dan Suku Kayu Pulo disepakati sebagai suku asli. Artinya, diantara suku-suku asli yang ada di Jayapura semua sepakat bahwa yang pertama kali menguasai tanah Jayapura adalah nenek moyang suku Kayu Batu dan Kayu Pulo. Suku-suku yang lainnya, seperti suku Enggros-Tobati, Skou, Nafri, Sentani, Kamptuk, Depapre, dan Dempata adalah pendatang, tidak berbeda dengan pendatang-pendatang lain baik dari Papua maupun luar Papua. Menurut ketentuan adat, hampir seluruh wilayah Jayapura merupakan penguasaan masyarakat adat suku Kayu Batu dan Kayu Pulo ini. Siapapun, apakah perseorangan, perusahaan swasta atau bahkan pemerintah daerah harus mendapat ijin dari dewan adat apabila hendak memanfaatkan tanah milik masyarakat adat. Sering dijumpai sebuah bangunan yang baru dibangun, baik oleh perseorangan, swasta atau pemerintah yang diberi semacam ”papan peringatan” bahwa bangunan tersebut didirikan di atas tanah milik masyarakat adat Suku Kayu Batu atau suku Kayu Pulo oleh Dewan Adat atau Lembaga Masyarakat Adat Suku Kayu Batu atau Kayu Pulo . Papan peringatan itu akan disingkirkan setelah pihak yang mendirikan bangunan memberi sejumlah kompensasi, semacam fee, kepada kepala adat, dewan adat atau lembaga masyarakat adat Suku Kayu Batu atau Kayu Pulo. Jumlah fee sangat tergantung dari luas dan sempitnya lahan yang digunakan dan nilai bangunan. Semakin luas lahan semakin mahal juga kompensasinya. Demikian juga, semakin mahal nilai bangunan semakin mahal juga kompensasinya. Nilainya bisa bervariasi ratusan ribu hingga milyaran rupiah.
Dana kompensasi yang diterima kepala adat, dewan adat atau lembaga masyarakat adat ini dipakai untuk kepentingan kolektif masyarakat adat, kesejahteraan masyarakat adat, mulai dari ”beasiswa” bagi pemuda-pemuda yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, membantu pengadaan mas kawin bagi pemuda yang akan menikah, ”menyogok” agar dapat bekerja di suatu instansi swasta maupun pemerintah, sampai untuk pembiayaan musyawarah adat untuk kepentingan pengembangan kelembagaan adat. Dukungan masyarakat adat terhadap berbagai macam aspek kehidupan ini menjadikan ikatan atau hubungan warga adat dengan masyarakat adatnya sangat kuat. Tentu sumber-sumber pembiayaan berbagai macam kebutuhan tadi tidak hanya bersumber dari fee pemanfaatan tanah adat saja, tetapi juga dari sumbangan, iuran, atau pungutan. Sistem sosial demikian ini semakin terasa kental dan kuat diantara orang atau warga memilik hubungan kekerabatan fam. Sebagai contoh, ada seorang pemuda fam A yang akan menikah dengan seorang pemudi dari fam B. Keluarga pemudi fam B ini meminta mas kawin senilai Rp 150 juta pada keluarga pemuda fam A tersebut. Dalam kasus seperti ini, keluarga pemuda fam A akan memanfaatkan ikatan kekerabatan fam mereka, yaitu fam A. Keluarga besar fam A akan berusaha sekuat tenaga agar mas kawin yang diminta oleh keluarga pemudi fam B dapat terpenuhi. Caranya biasanya akan diadakan semacam musyawarah fam guna mencari cara, biasanya iuran guna mendapatkan dana untuk membayar semua mas kawin itu. Harga diri fam akan dipertaruhkan dalam penyelesaian persoalan-persoalan seperti ini. Cara serupa dipakai untuk membiayai para pemuda yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, menyogo agar dapat bekerja di suatu instansi dll. Hubungan atau ikatan sosial seperti ini sifatnya timbal balik (reciprocal) menjadi suatu ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Ibarat suatu arisan, ada kalanya warga adat harus memberikan sumbangan, tetapi di lain waktu juga dapat menjadi ”tuan rumah” yang akan menerima atau mendapat sumbangan-sumbangan manakala membutuhkan. Seorang warga adat yang pernah dibantu untuk masuk ke suatu instansi pemerintah oleh warga adat yang lain, maka ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa melakukan hal yang sama terhadap para kerabatnya yang lain. Gejala seperti ini merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat adat baik di lingkungan satu fam atau bahkan satu suku. Persoalan muncul tatkala masyarakat adat berinteraksi dengan warga atau para pendatang yang memiliki sistem sosial yang unik pula.
Masyarakat adat dengan sistem sosial seperti diuraikan di atas akan berusaha mempertahankan sistem sosial mereka karena mereka berkewajiban melaksanakan prinsip timbal balik di lingkungan fam atau sukunya. Nilai-nilai yang dapat ditemukan dalam sistem sosial ini adalah keadilan dan kesetaraan. Prinsip dasarnya adalah timbal balik, saling menerima dan memberi.
Proses urbanisasi yang terjadi di Jayapura telah menjadikan daerah ini menjadi tujuan banyak orang dengan berbagai macam sistem sosial. Sistem sosial masyarakat adat suku Kayu Batu dan Kayu Pulo yang eksklusif ”dipaksa” berinteraksi dengan sistem sosial para pendatang yang sangat beragam. Sistem sosial dari kawasan papua, baik yang ada di sekitar Jayapura, seperti sistem sosial suku Enggros Tobati, Skou pada dasarnya sama dengan sistem sosial yang berlaku pada masyarakat adat suku Kayu Pulo atau Kayu Batu yang cenderung bersifat eksklusif fam dan suku. Artinya, pola hubungan yang sifatnya kerjasama dibangun secara kuat melalui ikatan kekerabatan fam dan suku, satu dari sekian ikatan yang melekat dalam diri setiap insan yang selama ini dikenal dengan ikatan primordial. Sejatinya, ikatan seperti ini ada dalam diri setiap masyarakat yang menjadikan mereka merasa satu ikatan atau satu kelompok (insider atau ingroup). Di Jayapura gejala-gejala demikian ini sangat kentara. Orang-orang asal Sulawesi yang dikenal dengan sebutan Buton, Bugis dan Makasar (BBM) cenderung tinggal dalam satu komunitas. Orang asal Biak, Paniai dan Serui yang berasal dari semenanjung pantai utara papua juga punyai kecenderungan yang sama. Orang-orang asal Yapen Waropen, Rajaampat, serta orang-orang asal pegunungan tengah kawasan pegunngan Jayawijaya dan Puncak Jaya, Wamena dan Kurima juga menunjukkan pola yang kurang lebih sama. Masing-masing cenderung tinggal dalam satu komunitas, baik tingkat RT ataupun RW.
Sebagai daerah urban, Kota Jayapura kehadiran pendatang tidak saja sebuah kenyataan tetapi juga sebuah persoalan. Pendatang dari Jawa, Sulawesi dan sebagian Sumatera memiliki sistem sosial yang sangat berbeda dengan sistem sosial masyarakat adat Jayapura. Kita tidak dapat mengatakan yang satu lebih baik dibanding yang lain. Para pendatang, khususnya dari dari Jawa, Sulawesi dan sebagian Sumatera yang tidak memahami pola hubungan atau sistem sosial masyarakat Jayapura seperti di atas sering mengalami kejutan budaya (cultural shock) menghadapi sistem sosial di atas. Ada kecenderungan, para pendatang memilih sikap diam atau cenderung bersikap ”mengalah”. Cara ini pasti hanya bersifat sementara. Sikap yang diambil ini menjadikan hubungan antar etnik seolah-olah tidak ada masalah, seolah-olah baik-baik saja, seolah-olah kondusif.
Saat sekarang inilah saat yang paling tepat untuk membangun hubungan antaretnik yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran bahwa semua manusia pada dasarnya saling bersaudara. Tanpa pemahaman dan kesadaran ini, hubungan yang ada sekarang sesungguhnya sebuah potensi konflik yang bersifat terpendam. Ia ibarat sekumpulan bahan kimia yang memiliki daya ledak tinggi. Sumbu-sumbu bahan peledak itu sudah ada dimana-mana berbentuk ketimpangan, kecemburuan, tekanan, ketidakadilan, kekafiran, kebodohan, penindasan dan masih banyak yang lainnya.
Saat inilah situasi dimana semua orang dari berbagai macam suku, agama, ras dan golongan masih dapat berpikir sehat.
Analisa Kemiskinan
Biaya hidup yang mahal di kawasan kajian Jayapura sesungguhnya memiliki 2 sisi. Bagi warga yang cenderung berpola hidup konsumtif, kawasan ini menjadikan pengeluaran untuk kebutuhan primer, seperti perumahan, makan cenderung mahal. Biaya sewa rumah dan harga-harga makanan siap saji sekitar 100% lebih mahal dibandingkan kawasan barat Indonesia, khususnya Jawa. Sebaliknya, kawasan ini dapat menjadi surga bagi mereka yang berusaha secara mandiri, baik di bidang jasa maupun perdagangan. Selisih harga yang tinggi adalah sebuah peluang dalam berusaha.
Kondisi di Papua sistem sosial suku asli, atau yang lebih senang disebut putra daerah menolak dikatakan miskin. Realitas sosial menunjukkan bahwa mereka ”menguasai” sebagian besar tanah baik di perkotaan, pinggiran kota maupun di perbukitan di sekitar kota. Sistem sosial yang mereka bangun selama ratusan tahun yang membangun pola saling memberi juga memungkinkan mereka memenuhi berbagai macam kebutuhan mereka. Realitas lain terkait dengan kondisi lingkungan atau permukiman yang di mata orang luar nampak tidak layak dapat jadi semata-mata soal paradigma.
Analisa Siklus
Pelaksanaan siklus sebagai upaya kajian dilakukan di 4 kelurahan. Secara administratif 4 desa sasaran di Jayapura yang terdiri atas 31 RW dan 143 RT dengan total penduduk 49.549 jiwa dan jumlah penduduk dewasa sebanyak 33.036 jiwa sangat berpengaruh besar terhadap frekuensi sosialisasi awal yang dilakukan tim fasilitator untuk memenuhi ketentuan 30% yang ditetapkan PAD. Oleh karena itu di Papua perlu penambahan faskel karena untuk mencapai PAD tersebut dengan waktu capaian sama dengan koorkot lainnya yang satu bulan lebih dahulu di mobilisasi.